Igauan
burung-burung berkelebat menebas
angkasa
raya. Memancarkan kilat di kegelapan asap
udara yang
kental, buas bagai paruh-paruh lapar
Sementara di
hutan masih saja terdengar pohon
Tumbang:
berdetak dan berdebum meski telah
teramat jauh
mereka terbang
Sayatan jiwa
silih berganti, rumah-rumah mereka
rata dengan
tanah, seiring raung dan sorai penguasa
“akan ke
manakah kita?”
ucap suara
ditingkahi kepak yang kian lelah
“jangan
tanya, kita dipaksa kembali pada sebab,
bukankah
kerinduan hal tak pasti?”
Igauan
burung kian mengisak, tangis mereka menelorkan
hujan lebat,
air yang mencurah dari angkasa jatuh
bagai
batu-batu ke lembah-lembah tak bernama
ke
bukit-bukit asing, ke sungai-sungai entah, mengalirkan
darah ke
muara dendam
Angkasa
penuh burung beragam jenis, kepaknya
membelah
sunyi dengan suara yang mengerikan: malam
lari ke
pangkal, dan kita menyaksikan burung-burung
meninggalkan
buminya sendiri dalam mimpi yang tak putus
Karena
mereka tak mungkin membuat rumah
di
puncak-puncak beton, penangkal petir, apalagi
di
pohon-pohon plastik yang menjamur di jalanan kota
Komentar
Posting Komentar