Tanpa
lonceng aku telah mempersiapkan saja cangkul
untuk
mengubur diri sendiri di rimba kesunyian
Mulut tanah
perbukitan itu menganga dan bersuara
“hai lelaki,
pejamkan mata!”
Angin
mendesirkan lalang, burung murai menajamkan
kicau dan
aku berangkat ke jurang diri sendiri
Memproklamirkan
kesepian tanpa henti
Berkubur
sendiri jauh beda dengan dikubur
Getar
nuranilah yang mampu menerjemahkan perih
menangkap
kearifan di bibir jurang jiwa
“hai,
terjunkah sebelum sore kautunaskan!”
Batu-batu
runcing menggigil dan pasir seakan teriak
di telapak
kaki
Untuk
berkubur aku tak sanggup menutup mata
dan terjun
sebelum memproklamirkan diri
sebagai
pembangkang: sayat kicau murai, desir angin
dan suara
pasir selalu saja sindir-menyindir bau
kematian
yang kukemas, beribu suara menuding
dari dalam
memporak-porandakan dinding-dinding dada
“lari ke
mana kau lelaki?” kejar suara
Ada juga
suara gaduh yang pukul memukul dinding hati
Kadang bagai
dentuman tiga-tiga yang menyayup
mengantar
perjalanan ke diri sendiri
Aku berkubur
sendiri tanpa siapa pun dalam diri dan tak
seorang pun
boleh membaringkan ocehannya di sini
Tanpa
lonceng, aku telah berkubur di kampung kecil
Aliran
sungai kesejukan nurani meresapkan api ke jantung
Bakar-membakar
jiwa, dalam kubur diri, aku berteriak
sejadi-jadinya:
ucapkan terimakasih dan cinta
kepada siapa
saja bukan ke diri sendiri
Ucapkan
sakit hati dan dendam kepada siapa saja
terlebih ke
diri sendiri!
Aku berkubur
dengan susah paya menciptakan kubur
aku berkubur
untuk memudahkan orang lain berkubur
pada
dirinya, aku berkubur untuk menentang orang lain
membuat
kubur dan memasukkan siapa saja ke dalamnya
Komentar
Posting Komentar