Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2013

NEGERI SENJA

Bagaimana menjawab ajakanmu ke pantai, Dinda Negeri ini sedang berdarah, kecamuk kelompok sedang meraja, dan tahukah kau apa yang tak bisa kutepis? Cintaku kepada senja atau ajakanmu untuk pulang, sekedar mengintip matahari turun di balik bukit barisan, bukan cuma laut memerah Atau anak-anak muda yang pulang berselancar

EKSEKUSI

Igauan burung-burung berkelebat menebas angkasa raya. Memancarkan kilat di kegelapan asap udara yang kental, buas bagai paruh-paruh lapar Sementara di hutan masih saja terdengar pohon Tumbang: berdetak dan berdebum meski telah teramat jauh mereka terbang

URBAN DI GARIS TANGAN

Selalu saja ditinggal dengan kartu nama atau nomor hepon: malam bergulir gadis-gadis lintas melintas Pakaian tipis ketat, bahan semi karet dan pusar yang menyumbul oleh gundukan dada memutar malam jadi siang Ah, Jakarta Kau cuma etalase, tempat bermukim mainan baru label dan angka-angka, misteri apa yang kaukandung?

BERKUBUR

Tanpa lonceng aku telah mempersiapkan saja cangkul untuk mengubur diri sendiri di rimba kesunyian Mulut tanah perbukitan itu menganga dan bersuara “hai lelaki, pejamkan mata!” Angin mendesirkan lalang, burung murai menajamkan kicau dan aku berangkat ke jurang diri sendiri Memproklamirkan kesepian tanpa henti Berkubur sendiri jauh beda dengan dikubur Getar nuranilah yang mampu menerjemahkan perih menangkap kearifan di bibir jurang jiwa “hai, terjunkah sebelum sore kautunaskan!” Batu-batu runcing menggigil dan pasir seakan teriak  di telapak kaki

SEJARAH

Dukamu tercecer sudah oleh jengking kereta yang melengking membunuh habis lamunan Tempat sembunyi para dewa Bersamaku dukamu lebur jadi cahaya, tercatat di tugu-tugu kota: wajahnya tujuh bidadari..

MADAH BINTANG

Ambil sebilah madah dari kerling mata yang pernah menikam jantung hati Tenunglah impian yang mendebarkan itu demi kehidupan, di hidupmu yang hampa karena tanpa sadar kau telah begitu saja mencercanya dengan penuh kasih-sayang

AIRMATA NEGERI

Airmata tak henti menyesali diri sendiri mengutuk kelahirannya sebagai airmata Derita dan sengsara hambar memaknai bahagia Deru, desau dan dentuman menjadi magnit malaikat penyambar hidup gentayangan Berselendang merah menyusuri kaki senja

KAMAR

Kalau aku bercerita tentang kamar, sebuah tempat yang memberi inspirasi persoalan hidup tentu kau menggelengkan kepala karena memang kau kurang sepakat dengan apa yang kuinginkan. Hidup mengalir bagai batu-batu runcing menjilati pasangan telapak Meski telah kita gandeng janji namun perbedaan tetap saja menumbuhkan bunga asing di diri sendiri

MIKRO INDONESIA

(Payakumbuh, Selamat Pagi) Matahari menyibak pagi, menyentak hati Perjalanan tanpa ujung mencigap gunung Mafia kampung mepermainkan hitungan kalkulator pun di tangan ketika henpon menderingkan berita-berita penguasa..

DI NEGERI BATU

Tak lagi ada hujan emas, tak ada hujan batu semua me-Malin Kundang. Lelaki itu bernama pelarian, kapal, laut, karang dan gelombang cuma alasan karena di negeri ini tak ada lagi pemilikan: sementara perempuan hanyalah rumah yang selalu ingin pergi

MALAM PERTAMA USAI PURNAMA

(Balada Banjir Jakarta) Wahai bulan satu hari lewat purnama, sampaikan pada perempuan setia itu bahwa aku rindu senyumnya yang belum pernah sempurna Kemarin barusan purnama, taun baru disambut Selasa dan dalam api para jin berpesta di angkasa, tapi aku mendengar jeritan kota yang terbakar, banjir, ledakan bom, serta parahnya tabrakan kereta

LABIRIN NEGERI BAYANG-BAYANG

Gema suara yang kita lepaskan secara rahasia di dalam goa ketika memerdekakan negeri ini disambut bahana yang tak jelas arah tujunya Labirin menangkap suara hati kita dan menelannya Aneh! Kita tetap saja percaya dan berpendapat Tidak mungkin gema berdusta menerjemahkan makna yang dihasratkan, “Alamlah satu-satunya penterjemah yang tak patut diragukan”, ucapmu

EVALUASI MIMPI

Hari ini ternyata tidak ada lagi basa-basi dan negeri takkan pernah menumbuhkan mimpi Mari kita ajarkan anak-anak memakan batu, pasir dan besi biar mereka berkhayal sampai langit ke tujuh dan tumbuh menjadi ksatria baja hitam atau gatot kaca

SAJAK PAGI TANPA KOPI

Irman Syah SAJAK PAGI TANPA KOPI (Gurindam ke Halimah) Pagi  tanpa kopi cintaku padamu, Halimah burung yang terbang hanyalah gembira kanak-kanak             sementara kita tetap saja berjauhan Kalau boleh kupinjam rambutmu tentu akan    kulautkan lambaian pesan untukmu selalu Dan tentu pula kaukenal             dengan apa yang kuisyaratkan sesungguhnya                         Meski lagu ragu yang sering berlabuh                                     bila aku mengingatmu jauh

MENIDURI MAWAR

Irman Syah MENIDURI MAWAR Ketika harus membagi wangi mawar terperangkap genggaman tampuk, batang, dahan dan ranting Sedang jambangan menanti, makam menunggu pesta riuh tepuk-tangan, serta peluk-cium pun amat merindu: mawar ragu memaknai diri sendiri

TURUN

Irman Syah TURUN Takkan bisa kau lepaskan mata, Adinda Pautan resah selalu di bolanya, rak buku berdebu, lukisan dan, bonsai di halaman hanya kenangan kepergian, kesendirian itu hidup yang abadi, lepaskanlah: buhul memang telah urai

SEMERBAK KENANG

Irman Syah SEMERBAK KENANG Ning nong neng neng Neng neng nong neng.. Kembali sunyi, rel yang beku Stasiun sukma meraung klenengan bertukar kata Pilu taman dicium embun Lumut kian membungkus sunyi diri dan risau mimpi Tikam-menikam jantung hitung-menghitung untung dalam abadinya perantauan

BANDARA INTERNASIONAL MINANGKABAU

Irman Syah BANDARA INTERNASIONAL MINANGKABAU Bandara Internasional Minangkabau, aku terbang.. Selamat tinggal Ombak Purus, Minang Plaza, Ketaping Jambu Air di Bukittinggi: gluduk mulai bernyanyi.. Aku terbang dan, takkan kukatakan pada dunia apa rencanaku? Cuma kuberi kabar pada manusia agar tidak tergesa

DARI IRIN KE TANAH MIRING

Irman Syah DARI IRIN KE TANAH MIRING Dengan Bukit Barisan yang bergerigi di giginya pentil pocong itu digigitnya: hidup mengalir.. Mata merah melumat tetesan darah, hidup nyata Dari kecil tak pernah punya rumah pura-pura Rumah kehidupan pasti, tak lain..

DENDANG MUSIM JAUH

Irman Syah DENDANG MUSIM JAUH Ujung nyanyi mengantar gelisah ke pangkalnya ujung janji sangat sering sahabat kecewa Kunyanyikan janji tentu kau kenal pangkal kecewa “Dendanglah dendang nan didendangkan dendang berkawan bibir gergaji Sayanglah sayang nan disayangkan sayang bermalam di lain hati..”

GRAFITI TOILET

Irman Syah GRAFITI TOILET Entah kenapa dalam pikirannya coretan itu tak pernah hilang tak pernah terbuang meski telah ia usahakan dengan banyak cara: ia jadi hilang akal. Timbullah keinginannya untuk melaporkan hal itu kepada pimpinan fakultas: “Pak saya tak bisa menghilangkan pikiran tentang apa yang tertulis di toilet itu…” “Tulisan yang mana?” “Ya, sekarang sudah tidak ada lagi, mungkin dihapus  oleh pegawai cleaning service!” “Ow, saya tidak mengenalnya, apa isi coretan itu?”

TATAPAN

Irman Syah TATAPAN Mengasah pisau selalu saja membayangkan tajamnya Setelah itu tangan tersayat, selalu saja ada sesuatu yang sulit dimaknai, apalagi mewarnainya dengan keputusan: lukisan apakah yang menari-nari, sehingga kenyataan jalan bersimpang? Mengasah pisau selalu saja membayangkan tajamnya tangan disayat, selalu saja..

AMSAL KERINDUAN

Irman Syah AMSAL KERINDUAN Tak banyak yang dapat kulayarkan padamu selain perahu-perahu kecil malam hari  tempat untuk bermimpi. Geletar ombak yang menggelegar adalah rasa yang terpelihara bagi malam-malammu agar kemajemukan makna yang kuisyaratkan dapat kautangkap sepenuh kasih

MUSIM-MUSIM BURUNG

Irman Syah MUSIM-MUSIM BURUNG Musim-musim burung hari ini, kitalah seonggok kabar yang diputar-balikkan kata, merendah dan meninggi dalam sayap waktu. Jemari perjalanan adalah rantau jelangan yang dipupuk dengan sabar tapi, kita makin setia pada ratapan:

KEMBALI

Irman Syah KEMBALI (Siklus Kejadian) “Aku lebih dekat denganmu dari batang lehermu sendiri!” ucap-Nya, sementara musim menjadikan kita petualang, dari lembaran-lembaran yang membesarkan atau matahari yang berputar mengikatkan bulan demi bulan di sobekan almanak Tanah surga dan batang besi kursani tu pun subur menungkai: kita dewasa lewat putaran angin

DALAM NAFAS KATA

Irman Syah DALAM NAFAS KATA Tak kumau tidur dalam kata yang kutulis, mati apalagi.. Padanya aku gerak, demo dan teriak di dadamu tentang sunyi ditinggal, sayat biola dinihari serta pedihnya serpihan bansi yang bergulir sayup. Engkau mungkin tak rasa cinta antara kita barangkali setipis ari karenanya kau begitu mudah mengukur nafas kematianku

RANTAU KERINDUAN

Irman Syah RANTAU KERINDUAN Berperahu hidup melabuhkan kematian sementara mati, hidup yang kekal: dari pulau ke pulau tak lain laut kemudian tanah lagi Pergantian tak ubahnya saling dekap, dan permusuhan adalah perkenalan yang teramat akrab

KEHILANGAN IGA

Irman Syah KEHILANGAN IGA Dalam mimpi kubangun kembali rusuk Adam yang kosong dengan mawar api lewat debu jalanan denting gitar dan teriakan nyaring puisi-puisi kehidupan di panggung panggung lengang kemanusiaan