Tak lagi ada
hujan emas, tak ada hujan batu
semua
me-Malin Kundang. Lelaki itu bernama
pelarian,
kapal, laut, karang dan gelombang
cuma alasan
karena di negeri ini tak ada lagi
pemilikan:
sementara perempuan hanyalah
rumah yang
selalu ingin pergi
Monumen-monumen,
patung-patung, tugu-tugu
hanya ucapan
selamat datang dengan jamnya
yang
pukul-memukul yang membuat diri seakan
dikejar-kejar:
was-was dan risau kian membakar
“Ayo,
selamatkan diri secepat kilat:
petir di
laras-laras makin dahaga pada nurani!”
Letupan di
dada rakyat bahasa hidup dan mati
Tak ada lagi
hujan emas, tak ada lagi hujan batu
semua
menjadi Malin kundang. Lelaki itu pelarian
dan
perempuan? Dialah rumah yang selalu ingin
pergi:
membalutkan luka pada lelaki, menumbuh
kembangkan
pucuk-pucuk zaman, tapi negeri tak
jua berpihak
pada nurani sehingga akhirnya
semua
membatu..
Semarang, 2010
Komentar
Posting Komentar